Aku menitihkan air mata begitu banyak ketika menulis ini, terdeskripsi rasa sesak di dada yang begitu amat sakit. Rabu, 11 Juni 2014 satu lagi wanita yang sangat aku cintai pergi dari dunia ini. meninggalkan banyak kenangan dan janji yang belum terbayar.
Terdengar suara isak tangis diseberang telpon sana."Le, pulang le." Ternyata suara mbak Dewi-kakak keduaku.
"Ada apa? Mbak Titin sudah sembuh?." Ucapku tegas namun pikiranku sudah diselimuti kekalutan.
"Mbak Titin masuk ruang ICCU, keadaannya kritis" Isaknya.
Badanku gemetar, aku takut. "Iya, Ebiet tak ijin ke Mas Budi."
Setelah itu aku bergegas memasukan laptop ke dalam tas lalu ijin dan berkemas-kemas semua bawaanku. Setelah di ijinkan aku kembali ke Probolinggo.
Sesampainya di RS aku tak berani melangkah masuk dalam ruang ICCU. Aku tak berani melihat lemahnya keadaan Mbakku atas kehendak Allah. Namun cepat atau lambat aku harus masuk. Melihatnya dari dekat dengan masker oksigen yang begitu besar membuatku tak bisa membayangkan batapa berat perjuangannya untuk tetap hidup. Kabel yang di pasang di dadanya tersambung pada sebuah monitor tepat di atasnya. Aku takut melihat grafik yang ada pada monitor. Aku takut grafik itu berhenti, lalu aku kehilangan sosoknya. Sangat takut.
Aku memeluk Abahku dengan tangisan yang parau,"Bah, Ebiet ngga mau kehilangan lagi. Ebiet ngga mau merasakan sendiri lagi." Abahku hanya terdiam, diapun tak ingin kehilangan.
Selama tiga hari ada di ICCU dokter hanya mengingatkan, "Tetap berdoa ya, semoga di beri mukjizat" Itu berarti Mbak Titin tidak mengalami perkembangan yang berarti.
Setiap kali sholat di mushalla RS aku tak berhenti meminta mukjizat, tak berhenti berinteraksi dengan Mbak Titin dalam doa. Hingga hari keempat, lima, enam keadaan Mbak Titin mengalami kemajuan yang berarti. Sudah bisa berinteraksi bersama kami lagi. Sudah tak memakai masker besar lagi, aku sudah merasakan sedikit ketenangan dan kesenangan karena bisa sembuh dan berkumpul lagi.
Hingga hari kedelapan, Mbak Titin sudah dinyatakan bisa kembali ke ruangan biasa. Perasaanku sangat senang, aku pun lebih bersemangat pada hari itu.
"Yang sabar, ayo cepet sembuh biar cepet pulang dan biar bisa ke lamongan."
"Aku mau pulang, Panas disini. Ayo pulang biet!."Rengeknya.
"Yasudah istirahat dulu. Biar keadannya bisa cepet sembuh."
Siang berganti malam, hanya aku dan Abah yang berjaga di RS. Sekitar pukul sepuluh malam ruangan di balik dinding ruangan Mbak Titin ada yang sedang menanti ajalnya. Semua keluarga berada disana, aku jadi kalut dan takut. Sesekali aku memandangi keadaan Mbak Titin dengan seksama, aku rasa baik-baik saja. Dia sudah bisa istirahat karena lelah seharian terus mengceh untuk meminta pulang. Malam itu menjadi malam terberatku. Aku merasakan begitu kelelahannya, akupun ingin pulang, ingin tidur di kamarku lagi. Hingga jam sebelas malam akhirnya aku tertidur di lantai dan kembali bangun sekitar jam setengah tiga pagi. Aku melihat keadaannya dari lantai, tenang, sunyi, mungkin dia sedang tertidur lelap karena lelah fikirku. Tak yakin dengan itu, aku bangun dan melihat dari dekat keadaannya. Aku sentuh tangannya dan mencoba membangunkannya, namun tidak ada respon sedikitpun. Langsung aku bangunkan Abahku yang juga tertidur untuk memanggil perawat. Selama Abahku memanggil perawat, aku terus mengecek responnya. Aku tidak bisa menemukan nafasnya, nadinya pun terasa sulit aku temukan. Aku terus mencoba membangunkannya, hingga dokter datang dan mengkonfirmasi bahwa Mbakku telah berpulang. Dia pergi begitu halus dan sunyi, dia tak ingin ada tangisan dalam langkah kepergiannya. Tidak ada yang tahu kapan dia pergi, yang aku tau ternyata dia sudah terbujur kaku. Aku pun tak bisa berbuat apa-apa. Aku hanya perlu menerima kenyataan yang begitu pahit.
Dipakainya selimut RS untuk menutupi wajahnya, pihak RS tak mau berlama-lama membiarkan keluargaku datang. Sementara Abahku diminta untuk mengurusi surat kematian Mbak Titin, akhirnya aku sendiri di bantu oleh perawat laki-laki disana yang mengangkat jenazahnya ke mobil ambulance.
Dini hari itu, Rabu 11 Juni menjadi sebuah kepiluan di atas kenyataan bahwa aku menaiki mobil ambulance dan membawa jenazah kakakku sendiri. Aku merasa tak berguna menjadi adik.
Hingga akhirnya aku sadar, satu hari itu adalah sinyal kepergiannya. Dia ingin terus berbincang denganku, namun saat itu aku tidak mau menggubrisnya, aku hanya ingin dia istirahat sehingga cepat sembuh. Lalu perkataan ingin pulangnya, dia tidak ingin pulang bersamaku karena Allah sudah memintanya, seharusnya aku mengerti hal itu lalu akan aku lakukan hal apapun untuknya agar tetap tinggal bersamaku-semampuku.
Tanggal 17 September 2014 / Rabu ini adalah ulangtahunnya ke-35 tahun. she's younger! dan dia pantas menjadi bidadari di surga sana, Karena semasa hidupnya dia adalah muslimah yang taat pada aturan agamanya. Memilki pengabdian dan kesabaran yang besat. Serta di akhir hidupnya pun dia tak henti memanggil nama Tuhan dan Nabinya,
Terimakasih telah menjagaku selama 19 tahun ini, Allah memanggilnya dariku karena Allah tahu aku bisa menjaga hidupku sendiri. Allah ingin dia terhindar dari penyakit di dunia dan menempatkannya di surga nanti dengan derajat yang tinggi bersama Ibu.
Titin Ayatullah namanya, lahir di Probolinggo 17 September 1979. Cantik bukan? Ya sangat cantik bagiku. Dia adalah kakak terbaik yang aku punya di dunia ini. Pengorbanannya, perlakuannya kepadaku tak bisa diungkapkan bahwa begitu besar semua itu. Dia kakak sekaligus pengganti Ibu, ketika Ibuku tak lagi bisa menjaga di umurku yang masih 10 tahun.
Allah memberinya sakit berkepanjangan, hingga akhirnya tiba pada waktu dia bisa merasakan sembuh 'Untuk Selamanya'.
Keberangkatanku1 Juni 2014, setelah aku di terima berkerja di sebuah percetakan di Surabaya aku berangkat dengan sedikit keterpaksaan. Malam sebelumnya Mbak Titin sudah dilarikan ke RS.Umum (Drs.Moh.Saleh) Kota Probolinggo. Menuggu Mbak Titin dipindahkan di ruangan hingga dini hari hampir mengurungkan niatku berangkat. Karena mengetahui keadaan Mbak Titin yang tak baik ini aku khawatir. Namun sebelum dilarikan ke RS mbak Titin berkata "Jangan pikirkan keadaan Mbak Titin disini. Semuanya akan baik-baik saja." akupun membalikan kalimat yang sama, "Mbak Titin ngga perlu mikir keadaan Ebiet disana. InshaAllah lancar, pokok samean bisa segera sembuh kita bisa jalan-jalan." Hanya itu yang menguatkan. Akhirnya setelah Mbak Titin selesai dipindah aku bisa sedikit beristirahat untuk menyiapkan keberangkatanku.
3 Hari yang panjangSesampai di Surabaya aku langsung menghubungi keluarga di Probolinggo untuk mengetahui keadaan Mbak Titin. Keadaannya stabil, tak ada kendala. Selama tiga hari di Surabaya aku benar-benar kesepian. Biasanya di rumah sering bertengkar, bercanda, makan masakannya, dan memarahinya ketika keinginanku tidak di turuti, karena aku masih sangat manja kepadanya. Aku tidak bisa bermanja kepada siapa-siapa disana. Hingga 3 hari yang terasa panjang itu berakhir dengan deringan telepon genggamku.
Terdengar suara isak tangis diseberang telpon sana."Le, pulang le." Ternyata suara mbak Dewi-kakak keduaku.
"Ada apa? Mbak Titin sudah sembuh?." Ucapku tegas namun pikiranku sudah diselimuti kekalutan.
"Mbak Titin masuk ruang ICCU, keadaannya kritis" Isaknya.
Badanku gemetar, aku takut. "Iya, Ebiet tak ijin ke Mas Budi."
Setelah itu aku bergegas memasukan laptop ke dalam tas lalu ijin dan berkemas-kemas semua bawaanku. Setelah di ijinkan aku kembali ke Probolinggo.
Seminggu di ICCUHanya bisa menangis dan berdoa dalam bis.berdoa demi kesembuhan dan mukjizat yang mungkin akan Allah berikan kepada Mbak Titin.
Sesampainya di RS aku tak berani melangkah masuk dalam ruang ICCU. Aku tak berani melihat lemahnya keadaan Mbakku atas kehendak Allah. Namun cepat atau lambat aku harus masuk. Melihatnya dari dekat dengan masker oksigen yang begitu besar membuatku tak bisa membayangkan batapa berat perjuangannya untuk tetap hidup. Kabel yang di pasang di dadanya tersambung pada sebuah monitor tepat di atasnya. Aku takut melihat grafik yang ada pada monitor. Aku takut grafik itu berhenti, lalu aku kehilangan sosoknya. Sangat takut.
Aku memeluk Abahku dengan tangisan yang parau,"Bah, Ebiet ngga mau kehilangan lagi. Ebiet ngga mau merasakan sendiri lagi." Abahku hanya terdiam, diapun tak ingin kehilangan.
Selama tiga hari ada di ICCU dokter hanya mengingatkan, "Tetap berdoa ya, semoga di beri mukjizat" Itu berarti Mbak Titin tidak mengalami perkembangan yang berarti.
Setiap kali sholat di mushalla RS aku tak berhenti meminta mukjizat, tak berhenti berinteraksi dengan Mbak Titin dalam doa. Hingga hari keempat, lima, enam keadaan Mbak Titin mengalami kemajuan yang berarti. Sudah bisa berinteraksi bersama kami lagi. Sudah tak memakai masker besar lagi, aku sudah merasakan sedikit ketenangan dan kesenangan karena bisa sembuh dan berkumpul lagi.
Hingga hari kedelapan, Mbak Titin sudah dinyatakan bisa kembali ke ruangan biasa. Perasaanku sangat senang, aku pun lebih bersemangat pada hari itu.
Satu hari: KepergianKetika dinyatakan bisa di pindah di ruang normal aku sangat senang. Namun ada sedikit hal yang tertinggal, entah apa. Siang itu cuaca memang sangat panas, hingga sore menjelang Mbak Titin pun terus gelisah, katanya padaku "Aku mau pulang, pengen mandi, ayo pulang biet!."
"Yang sabar, ayo cepet sembuh biar cepet pulang dan biar bisa ke lamongan."
"Aku mau pulang, Panas disini. Ayo pulang biet!."Rengeknya.
"Yasudah istirahat dulu. Biar keadannya bisa cepet sembuh."
Siang berganti malam, hanya aku dan Abah yang berjaga di RS. Sekitar pukul sepuluh malam ruangan di balik dinding ruangan Mbak Titin ada yang sedang menanti ajalnya. Semua keluarga berada disana, aku jadi kalut dan takut. Sesekali aku memandangi keadaan Mbak Titin dengan seksama, aku rasa baik-baik saja. Dia sudah bisa istirahat karena lelah seharian terus mengceh untuk meminta pulang. Malam itu menjadi malam terberatku. Aku merasakan begitu kelelahannya, akupun ingin pulang, ingin tidur di kamarku lagi. Hingga jam sebelas malam akhirnya aku tertidur di lantai dan kembali bangun sekitar jam setengah tiga pagi. Aku melihat keadaannya dari lantai, tenang, sunyi, mungkin dia sedang tertidur lelap karena lelah fikirku. Tak yakin dengan itu, aku bangun dan melihat dari dekat keadaannya. Aku sentuh tangannya dan mencoba membangunkannya, namun tidak ada respon sedikitpun. Langsung aku bangunkan Abahku yang juga tertidur untuk memanggil perawat. Selama Abahku memanggil perawat, aku terus mengecek responnya. Aku tidak bisa menemukan nafasnya, nadinya pun terasa sulit aku temukan. Aku terus mencoba membangunkannya, hingga dokter datang dan mengkonfirmasi bahwa Mbakku telah berpulang. Dia pergi begitu halus dan sunyi, dia tak ingin ada tangisan dalam langkah kepergiannya. Tidak ada yang tahu kapan dia pergi, yang aku tau ternyata dia sudah terbujur kaku. Aku pun tak bisa berbuat apa-apa. Aku hanya perlu menerima kenyataan yang begitu pahit.
Dipakainya selimut RS untuk menutupi wajahnya, pihak RS tak mau berlama-lama membiarkan keluargaku datang. Sementara Abahku diminta untuk mengurusi surat kematian Mbak Titin, akhirnya aku sendiri di bantu oleh perawat laki-laki disana yang mengangkat jenazahnya ke mobil ambulance.
Dini hari itu, Rabu 11 Juni menjadi sebuah kepiluan di atas kenyataan bahwa aku menaiki mobil ambulance dan membawa jenazah kakakku sendiri. Aku merasa tak berguna menjadi adik.
Hingga akhirnya aku sadar, satu hari itu adalah sinyal kepergiannya. Dia ingin terus berbincang denganku, namun saat itu aku tidak mau menggubrisnya, aku hanya ingin dia istirahat sehingga cepat sembuh. Lalu perkataan ingin pulangnya, dia tidak ingin pulang bersamaku karena Allah sudah memintanya, seharusnya aku mengerti hal itu lalu akan aku lakukan hal apapun untuknya agar tetap tinggal bersamaku-semampuku.
Tanggal 17 September 2014 / Rabu ini adalah ulangtahunnya ke-35 tahun. she's younger! dan dia pantas menjadi bidadari di surga sana, Karena semasa hidupnya dia adalah muslimah yang taat pada aturan agamanya. Memilki pengabdian dan kesabaran yang besat. Serta di akhir hidupnya pun dia tak henti memanggil nama Tuhan dan Nabinya,
Terimakasih telah menjagaku selama 19 tahun ini, Allah memanggilnya dariku karena Allah tahu aku bisa menjaga hidupku sendiri. Allah ingin dia terhindar dari penyakit di dunia dan menempatkannya di surga nanti dengan derajat yang tinggi bersama Ibu.
"Semoga Mbak Titin dan Ibu tenang di alam kubur, dilapangkan kuburnya, disinari cahaya yang terang dalam kuburnya, dihindarkan dari siksa kubur dan bisa mendapatkan syafaat pada hari akhir nanti"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar